KH Tubagus Achmad Chotib (Residen Banten Pertama)
K.H TB Ahmad Chatib
Oleh: Fathul Wahhab
Siapakah
KH. TB Ahmad Chatib itu? Banyak orang hampir melupakan namanya.
Padahal, jasa-jasanya terhadap kemajuan agama dan bangsa cukup patut
kita perhitungkan. Apalagi semangat dan keteladanannya yang harus kita
contoh sebagai generasi penerus para alim ulama yang menjadi tiang,
benteng serta harapan agama, bangsa dan negara.
Beliau
(baca; Ahmad Chatib) yang bernama lengkap KH. TB Ahmad Chatib ibn Wasi'
al-Bantani ini dilahirkan di sebuah kampung bernama Gayam, Pandeglang
pada hari Ahad tahun 1885 M.
Di tengah-tengah
cengkraman kekejaman kolonialisme Belanda, beliau menghabiskan masa
kecilnya dengan pendidikan yang tidak mudah, sehingga hal itu membentuk
pribadinya menjadi tangguh dan kuat dalam menghadapi deru cobaan
kehidupan.
Selama masa hidupnya, beliau sebagai ulama
dan pejuang mencurahkan seluruh hidupnya untuk perjuangan agama dan
bangsa. Sebagai bukti peranannya dalam perjuangan bangsa, beliau pernah
berpartisipasi dalam beberapa jabatan penting negara pada masanya,
diantaranya : Residen Banten, Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong Royong (DPRGR), bahkan beliau pun pernah menduduki kursi
MPRS, BPPK, dan lain-lain. Terlepas dari jabatan-jabatan yang
ditampuknya, beliau pun tidak berdiam diri dalam usahanya memajukan
agama dan umat, beliau mencetuskan berdirinya Majelis Ulama, Perusahaan
Alim Ulama (PAU), serta mendirikan perguruan tinggi seperti Universitas
Islam Maulana Yusuf di kota Serang, Banten, yang dikemudian hari
berganti nama menjadi IAIN Sunan Gunung Jati.
Dalam
usahanya sebagai Pemimpim atau Residen Banten, beliau memulai gerakan
pembangunan fisik, sarana dan prasarana bagi keagamaan maupun kenegaraan
yang dimulai dan dipusatkan di kota lama Banten, 12 Syawal 1365 H/8
September 1946 M.
Setelah menjalani masa pensiun,
beliau sebagai pejuang tidak menghentikan aktifitas serta peranannya
dalam pembangunan. Tetapi, beliau lebih banyak mencurahkan perhatiannya
dalam memajukan kehidupan umat, seperti: mengurus peninggalan Kesultanan
Banten, memelihara anak yatim piatu, mengasuh sebuah pesantren,
membangun tempat-tempat ziarah, ibadah, serta tempat menerima tamu atau
pelajar yang hendak menimba ilmu di Banten.
Adapun
dana/biaya pembangunannya, beliau peroleh dari para donatur atau para
dermawan dari seluruh masyarakat Banten, baik berupa moril ataupun
materil yang beliau terima dengan penuh semangat dan ikhlas. Mereka
berduyun-duyun datang ke Banten untuk menyumbangkan apa saja yang mereka
miliki sesuai dengan kemampuan.
Disamping itu, beliau
juga mendapatkan dana dari hasil penjualan buku-buku cetak, baik
sejarah, ‘aurâd, maupun silsilah, termasuk diantaranya ‘aurâd dan
silsilah Thariqat al-Muhtâjîn yang beliau dirikan untuk membentengi
keimanan umat dari kerasnya pengaruh globalisasi, yang mana hal ini
merupakan warisan terbesar bagi keturunannya yang ingin meneruskan
perjuangannya.
Ada kisah menarik menjelang hari-hari
kepergiannya. Ketika itu, seminggu sebelum wafat, beliau memiliki
firasat tentang akhir dari kehidupan dunianya. Beliau segera
mengumpulkan orang-orang terdekat, mulai dari isteri sampai
murid-muridnya. Pada saat semua telah berkumpul dihadapannya, ia
memerintahkan kepada beberapa orang muridnya untuk menyiapkan segala
sesuatu yang dibutuhkan dalam prosesi pemakamannya. Disamping itu, ia
mulai menyampaikan wasiat-wasiat, serta mengatur pembagian harta
warisannya, tak ayal hal ini membuat terperanjat semua orang yang ada
dihadapannya.
Mereka bertanya-tanya, “ada apa gerangan?”. Ia pun
menjelaskan akan firasat kepergiannya, "Anak-anaku, Mama –begitu biasa
mereka memanggilnya- merasa tidak akan lebih dari seminggu lagi masih
bersama-sama kalian", ujarnya. Mendengar ucapannya itu, air mata tak
terbendung mengaliri pipi mereka.
Satu minggu yang amat
berat itu berlalu, terjadilah apa yang telah dibicarakan sebelummnya.
Beliau, kembali keharibaan-Nya dengan tenang. Setelah menunaikan segala
kewajibannya, ditunaikan hak-haknya, bahkan hak yang seharusnya menjadi
tanggungan ahli warisnya.
Gayam, minggu 19 Juni 1966 M,
beliau memenuhi panggilan Sang Khalik. Kembali kepada awal dan akhir
dari sebuah kehidupan. Meninggalkan mereka dengan duka mendalam tetapi
penuh kebanggaan. Semangatnya yang terus mengalir, membuat beliau terasa
masih tetap hidup. Yah, hidup di hati setiap keturunannya dan
orang-orang yang selalu mengenang akan jasa-jasanya.